Langsung ke konten utama

Cerita Kampung Tjoeking (Lewu Juking) Kuala Kapuas

ilustrasi - Kampung Juking Kuala Kapuas

Pada tahun 1800an permukiman pertama yang dijumpai oleh Belanda di muara Sungai Moeroeng Kapuas, terdiri dari beberapa desa yang memiliki jumlah penduduk yang besar, dengan pertahanan yang kuat dan penduduknya yang gagah perkasa. Nama-nama desa tersebut adalah Tjoeking , Baranges , Beta Pong (Badapaung) , Pulu Koepang (Pulau Kupang), Bahanau , Tameang dan Basarang. Pekerjaan utama desa-desa tersebut adalah budidaya padi dan perdagangan. Para pedagang Jawa dan bugis tiba di muara Batang Moeroeng untuk melakukan perdagangan dengan suku Dayak Ngaju yang tinggal di muara Batang Moeroeng , dan beberapa kampong Dayak bahkan hidup oleh perdagangan melalui laut tersebut.



Pemukiman kampong Tjoeking (Juking) adalah suatu pemukiman yang terletak didaerah sungai Murung Kapuas. Pada abad ke-16 dalam naskah Negarakertagama yang ditulis oleh pujangga Empu Prapanca dari Majapahit, menyebutkan adanya pemukiman. Pemukiman Biaju (Ngaju) dikendalikan oleh suatu pemerintahan di daerah delta Sungai Kahayan dan Kapuas yaitu pemerintahan Kuta Bataguh yang dipimpin oleh Nyai Undang.

Setelah berakhirnya pemerintahan Kuta Bataguh, kemudian dalam naskah hikayat Banjar, berita Tionghoa pada masa Dinasti Ming dan piagam-piagam perjanjian antara Sultan Banjarmasin dengan pemerintah Belanda pada babat ke-19 memuat berita adanya pemukiman/perkampungan disepanjang Sungai Kapuas Murung yang disebut pemukiman kampong Tjoeking (Juking). Kepala suku Dayak yang terkenal dari kampong Tjoeking (Juking) bernama Raden Labih, ayahnda dari Temanggong Ambu Djaja Negara.

Diceritakan pada suatu waktu telah terjadi sebuah migrasi suku Dayak di bawah kepemimpinan Oesak dari Sungei Teweh ke Mantangai (sebuah wilayah didaerah kekuasaan Kapuas Moeroeng), dimana terjadi perselisihan diantara suku Dayak yang bermigrasi tersebut dengan suku Dayak Ngadjoe. Dibawah komando Oesak, terjadilah pertempuran dengan desa-desa disepanjang sungai Moeroeng dibawah pimpinan Kampong Tjoeking. Setelah pertempuran yang berulang-ulang akhirnya diadakanlah perdamaian dan untuk memulihkan situasi kondisi dilakukanlah perkawinan antara kedua suku yang bertikai, yang akhirnya membuat suku Taboijan (Teweh) dengan suku Ngadjoe bersatu kembali .

Kampong Juking merupakan sebuah pemukiman betang/rumah panjang yang terletak di dekat muara sungai Murung Kapuas (bagian barat delta Pulau Petak yang bermuara ke Laut Jawa) sekitar 10 km dari arah pesisir Laut Jawa. Perkampungan ini cukup besar, bersama dengan kampung-kampung disekitarnya, seperti pemukiman Badapaung dan pemukiman lain sampai muara terusan, kampong Juking ini berpenduduk sekitar 1000 kepala keluarga.

Penduduk Lewu Juking dan penduduk sekitarnya sering diserang oleh rombongan bajak laut, walaupun beberapa kali rombongan bajak laut dapat dipukul mundur oleh penduduk Juking dan sekitarnya, tetapi penduduk merasa kurang aman tinggal di daerah tersebut, sehingga pada tahun 1800 banyak penduduk pindah tempat tinggal mencari tempat yang jauh lebih aman dari gangguan bajak laut.

Akibat perpindahan penduduk Lewu Juking dan sekitarnya, maka disepanjang arah Sungai Kapuas dan Sungai Murung bermunculan perkampungan baru, seperti di tepi sungai Murung muncul kampung Palingkau dipimpin oleh Dambung Tuan, perkampungan Sungai Handiwung dipimpin Dambung Duyu, perkampungan Sei Apui (seberang Palingkau) dipimpin oleh Raden Labih yang kemudian digantikan oleh putranya Temanggong Ambu. Sedangkan di tepi sungai Kapuas terdapat perkampungan baru seperti kampung Basarang, Pulau Telo, Sungai Bapalas, dan sungai Kanamit yang nama-nama pemimpinnya baru diketahui ketika terjadi perlawanan bersenjata terhadap Belanda di sekitar Kuala Kapuas (1895 – 1860). Kampung Basarang dipimpin oleh Panglima Tangko, Sungai Bapalas oleh Panglima Uyek dan Sungai Kanamit dipimpin oleh Petinggi Sutil.

* Silsilah keturunan Raden Labih (Lewu Tjoeking - Sei Apui)
* Raden Labih menikah dengan Lanting, melahirkan:
  1. Bunter Tatu Palangkah
  2. Tamanggong Nikodemus Ambu Djaja Negara
  3. Riwun + Tewung = Demang Anggen
  4. Hanan
  5. Marei + Tamanggong Runggu
*Tamanggong Runggu (Marudin) menikah dengan Marei, melahirkan:
  1. Tapa
  2. Lampe
  3. Usup
  4. Sambelom (menikah dengan Demang Anggen)
  5. Harun
  6. Enoh
  7. Meloh

(sumber: P.J.F. Becker. "Het distrikt Poeloe-Petak in Z. 0. Borneo." Indisch arcMef 1849 I, Sejarah Kapuas - kapuaskab.go.id)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Serial Mahabharata ANTV

Mahabharata adalah sebuah serial drama televisi mitologi berbahasa Hindi dari India berdasarkan kesusastraan Mahabharata. Serial ini mulai ditayangkan di STAR Plus sejak 16 September 2013. Di Indonesia, serial ini ditayangkan oleh antv setiap hari Senin-Sabtu, pukul 21.00 WIB sejak The Adventures of Hatim tayang.

Cerita Dayak Kenyah Dari Dataran Apokayan

HumaBetang - Suku Kenyah adalah suku Dayak yang termasuk rumpun Kenyah-Kayan-Bahau yang berasal dari dataran tinggi Usun Apau, daerah Baram, Sarawak. Dari wilayah tersebut suku Kenyah memasuki Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur melalui sungai Iwan di Sarawak terpecah dua sebagian menuju daerah Apau Kayan yang sebelumnya ditempati suku Kayan dan sebagian yang lainnya menuju daerah Bahau. Pergerakan suku ini menuju ke hilir akhirnya sampai ke daerah Mahakam dan akhirnya sebagian menetap di Kampung Pampang Samarinda Utara, Samarinda. Sebagian lagi bergerak ke hilir menuju Tanjung Palas. Suku Kenyah merupakan 2,4% penduduk Kutai Barat.

Batu Ayau Tempat Suci Ksatria Kayau Suku Dayak Ot Danum

HumaBetang - Yang dinamakan Batu Ayau adalah nama bukit atau gunung tempat suku Dayak Ot Danum-Ngaju melakukan ritual adat sebelum melakukan kayau-asang jaman dahulu. Bukit Batu Ayau ini dianggap keramat dalam adat Kaharingan di Kalimantan Tengah, yang terletak di wilayah Kabupaten Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah, berbatasan dengan Kalimantan Timur, dengan ketinggian sekitar 1.652 meter dari pemukaan laut.