HumaBetang - Menurut panaturan Tetek Tatum, suku Dayak Ot Danum diperkirakan yang tertua di wilayah pulau Kalimantan (Borneo). Dan seluruh orang Dayak berkeyakinan bahwa nenek moyang mereka berasal dari langit yang diturunkan ke dunia dengan wadah emas di empat tempat. Dan Leluhur Dayak diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan Palangka Bulau (Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan Ancak atau Kalangkang) diturunkan dari langit ke dalam dunia ini di empat tempat berturut-turut melalui Palangka Bulau, yaitu:
- Di “Tantan Puruk Pamatuan di hulu Kahayan dan Barito”, di puncak Bukit Pamatuan, suatu dataran tinggi antara hulu sungai Kahayan dan sungai Barito. Atas kehendak Ranying Hatalla Langit (Tuhan) dengan wadah emas itu diturunkanlah seorang lelaki (sebenarnya Sang Hyang atau dewa) bernama Antang Bajela Bulau (menurut Tatum) atau Tunggul Garing Janjahunan Laut (menurut Mahanteran, dalam upacara Tiwah). Dengan kesaktiannya Antang Bajela Bulau menciptakan dua orang lelaki yang dinamainya Lambung dan Lanting (dalam Mahanteran mereka itu adalah Maharaja Bunu dan Maharaja Sangen).
- Di “Tatan Liang Mangan Puruk Kaminting” Ranying Hatala Langit menurunkan lagi wadah emas dan terciptalah Karangkang Ambam Penyang dalam Mahanteran, ialah Maharaja Sangiang.
- Di “Datah Takasiang Rakaui Sungai Malahui” di atas batu granit hitam (seperti warna hitam bulu burung tangkasiang) di hulu sungai Rakaui yang bermuara di sungai Malahui (sekarang termasuk daerah Kalimantan Barat), Tuhan menurunkan dua butir telur burung (enggang dan elang) yang ketika sampai di tanah menjelma menjadi seorang lelaki dan tiga orang perempuan. Yang lelaki bernama Litih atau Tiung Layang, kemudian menjadi Jata (mendiami dan menguasai dunia dalam air, dewa alam bawah), sedang ketiga perempuan itu masing-masing bernama Kamulung Tenek Bulau, Kameloh Putak Bulau dan Lentar Katingei Bulau. Kameloh Putak Bulau meninggal dunia, dan mayatnya hanyut ke laut hingga terdampar di pulau Mako. Namun oleh saudaranya Jata, ia dihidupkan kembali sesudah diminumkan untuknya air kehidupan.
- Di “Puruk Kambang Tanah Siang Hulu Barito”, terciptalah seorang putri bernama Nyai Sikan.(Tjilik Riwut, 1979: 390-391)
Maharaja
Bunu mengembara milir ke Batang Sungai Malahui terus sampai muara
Sungai Kapuas Bohang, disitu berjumpalah dengan seorang putri cantik,
rambutnya panjang berkulit kuning langsat, tapi ternyata putri itu
adalah penjelmaan “bawin kangkamiak” atau hantu kuntilanak. Bawin
Kangkamiak tersebut menolak lamaran Maharaja Bunu, dan menyarankan
Maharaja Bunu untuk pergi ke Pulau Mako karena jodohnya berada disana.
Singkat cerita Maharaja Bunu berlayar menggunakan Banama panjang dan
tiba di Pulau Mako (negeri di Cina), lalu berjumpa dengan Putri Kameloh
Putak Bulan, dan menikahlah mereka berdua. Dari perkawinan mereka
melahirkan 5 orang anak, yaitu :
Setibanya di Pulau Kantan mereka kemudian terus berjalan dengan berjalan kaki ke sungai Kahayan. Jalan yang mereka lalui dinamai Jalan Sua Urau Hulu Kahayan, sampailah mereka di suatu dataran tinggi yang tanahnya subur di perhuluan antara sungai Joloi yang bermuara di sungai Barito dan sungai Kahayan, yang dinamai Rangan Marau.
Selanjutnya Maharaja Sangen dan Maharaja Sangiang pindah ke Datah Datah Takasiang Rakaui Sungai Malahui Kalimantan Barat dan berjumpa dengan kedua perempuan yang tinggal di sana. Maharaja Sangiang menikah dengan Putri Kamulung Tenek Bulau, dari mereka melahirkan 30 orang anak dan Maharaja Sangen menikah dengan Putri Lentar Katingei Bulau, dari mereka melahirkan 6 orang anak.
Dari keturunan Maharaja Sangen (Lanting) menghasilkan datuk suku Dayak Heban (Iban), selanjutnya dari keturunan Maharaja Sangiang (Karangkang) menghasilkan datuk suku Dayak Punan.
Perlu dijelaskan bahwa dari keluarga Maharaja Bunu inilah yang keturunannya nanti di kemudian hari terkenal mendiami perhuluan sungai-sungai besar di Kalteng yakni sungai Barito, Kahayan, Kapuas dan Katingan, yang disebut suku Ot Danum (Ot = hulu, Danum = air/sungai) dan suku Ngaju (Ngaju = hulu). Dari keturunan Maharaja Bunu, Maharaja Sangen dan Maharaja Sangiang inilah kemudian yang menjadi nenek moyang Suku Dayak dan anak-cucunya tersebar di seluruh Kalimantan.
- Sempung Amai Bungai.
- Sarupoi Amai Tambun.
- Nyai Etan.
- Nyai Rambu.
- Tingang Rambang Kumpang.(Tjilik Riwut, 1979: 391)
Setibanya di Pulau Kantan mereka kemudian terus berjalan dengan berjalan kaki ke sungai Kahayan. Jalan yang mereka lalui dinamai Jalan Sua Urau Hulu Kahayan, sampailah mereka di suatu dataran tinggi yang tanahnya subur di perhuluan antara sungai Joloi yang bermuara di sungai Barito dan sungai Kahayan, yang dinamai Rangan Marau.
Selanjutnya Maharaja Sangen dan Maharaja Sangiang pindah ke Datah Datah Takasiang Rakaui Sungai Malahui Kalimantan Barat dan berjumpa dengan kedua perempuan yang tinggal di sana. Maharaja Sangiang menikah dengan Putri Kamulung Tenek Bulau, dari mereka melahirkan 30 orang anak dan Maharaja Sangen menikah dengan Putri Lentar Katingei Bulau, dari mereka melahirkan 6 orang anak.
Dari keturunan Maharaja Sangen (Lanting) menghasilkan datuk suku Dayak Heban (Iban), selanjutnya dari keturunan Maharaja Sangiang (Karangkang) menghasilkan datuk suku Dayak Punan.
Perlu dijelaskan bahwa dari keluarga Maharaja Bunu inilah yang keturunannya nanti di kemudian hari terkenal mendiami perhuluan sungai-sungai besar di Kalteng yakni sungai Barito, Kahayan, Kapuas dan Katingan, yang disebut suku Ot Danum (Ot = hulu, Danum = air/sungai) dan suku Ngaju (Ngaju = hulu). Dari keturunan Maharaja Bunu, Maharaja Sangen dan Maharaja Sangiang inilah kemudian yang menjadi nenek moyang Suku Dayak dan anak-cucunya tersebar di seluruh Kalimantan.
Sempung anak
tertua dari Maharaja Bunu, ketika Maharaja Bunu pulang kembali ke Pulau
Kantan, Sempung masih menetap di Pulau Mako negeri Cina, dan masih
belajar menuntut ilmu sebanyak-banyaknya di negeri Cina. Berbagai ilmu
dia pelajari dari seni bela diri, ilmu berperang, pemerintahan,
pertanian, perkebunan, pertukangan, perbintangan, pelayaran, perniagaan
sampai bagaimana cara membuat tempayan, menambang emas dan sebagainya.
Sesudah merasa cukup lama rasanya, dia pun lalu pulang untuk bertemu
keluarganya.
Mungkin karena Sempung cukup lama berada di negeri Cina maka kulitnya berwarna putih disertai beberapa orang temannya yang memang orang Cina, dia lalu dikira orang Cina. Menurut manuskrip kuno Tiongkok menyebutkan tentang mendaratnya sekelompok suku dari daerah provinsi Yunan (Cina) di pantai utara pulau Borneo, pada sekitar 700 tahun sesudah Masehi dibawah pimpinan Sam Hau Fung. Sebuah sungai di daerah Sabah mereka masuki sampai ke hulunya, sungai itu lalu dinamakan mereka sungai Miri.
Sesudah beberapa waktu lamanya menetap di tempat itu Sam Hau Fung merasa tidak kerasan. Ia ingin mencari suatu dataran yang subur tempat bercocok tanam. Menerobos hutan rimba belantara daerah Sabah dan Serawak (Malaysia Timur), ia terbentur pada gugusan pegunungan yang sekarang kita kenal dengan sebutan pegunungan Muller-Schwanner.
Perjalanan yang panjang itu berakhir pada suatu lembah di kaki bukit Kaminting, disuatu daerah di hulu antara sungai Joloi yang bermuara di sungai Barito dan sungai Kahayan yang bernama Rangan Marau.
Menurut Tetek Tatum (babad Tanah Dayak), Sempung (Sam Hau Fung) telah bertemu dengan bapaknya Lambung (Maharaja Bunu). Di tempat ini Sam Hau Fung lalu menetap dan kawin dengan seorang gadis di situ bernama Nyai Endas anak dari Karangkang (Maharaja Sangiang) di Rangan Marau ini yang memang saudara bapaknya Lambung.
Mungkin karena Sempung cukup lama berada di negeri Cina maka kulitnya berwarna putih disertai beberapa orang temannya yang memang orang Cina, dia lalu dikira orang Cina. Menurut manuskrip kuno Tiongkok menyebutkan tentang mendaratnya sekelompok suku dari daerah provinsi Yunan (Cina) di pantai utara pulau Borneo, pada sekitar 700 tahun sesudah Masehi dibawah pimpinan Sam Hau Fung. Sebuah sungai di daerah Sabah mereka masuki sampai ke hulunya, sungai itu lalu dinamakan mereka sungai Miri.
Sesudah beberapa waktu lamanya menetap di tempat itu Sam Hau Fung merasa tidak kerasan. Ia ingin mencari suatu dataran yang subur tempat bercocok tanam. Menerobos hutan rimba belantara daerah Sabah dan Serawak (Malaysia Timur), ia terbentur pada gugusan pegunungan yang sekarang kita kenal dengan sebutan pegunungan Muller-Schwanner.
Perjalanan yang panjang itu berakhir pada suatu lembah di kaki bukit Kaminting, disuatu daerah di hulu antara sungai Joloi yang bermuara di sungai Barito dan sungai Kahayan yang bernama Rangan Marau.
Menurut Tetek Tatum (babad Tanah Dayak), Sempung (Sam Hau Fung) telah bertemu dengan bapaknya Lambung (Maharaja Bunu). Di tempat ini Sam Hau Fung lalu menetap dan kawin dengan seorang gadis di situ bernama Nyai Endas anak dari Karangkang (Maharaja Sangiang) di Rangan Marau ini yang memang saudara bapaknya Lambung.
Pada suatu
hari beberapa orang lelaki dibawah pimpinan Lambung dari dusun Rangan
Marau itu pergi berburu ke dalam hutan. Dalam perjalanan itu, mereka
bertemu dengan rombongan pemburu lainnya, yang terlihat nampaknya
berasal dari daerah sungai Mahakam (Kalimantan Timur). Mereka sangat
muda, jelas terlihat dari wajahnya serta sangat gesit sekali.
Bertemu dengan mereka ini kelihatannya tidak menunjukkan sikap ramah, namun sebaliknya malah mereka dari Mahakam ini nampaknya mencoba untuk membunuh anak buah Lambung. Perkelahian sengit tidak dapat dihindari dan berkat ketangkasan Lambung serta anak buahnya, seluruh rombongan pemburu itu semua terbunuh. Hanya seorang pemuda dibiarkan hidup.
Bertemu dengan mereka ini kelihatannya tidak menunjukkan sikap ramah, namun sebaliknya malah mereka dari Mahakam ini nampaknya mencoba untuk membunuh anak buah Lambung. Perkelahian sengit tidak dapat dihindari dan berkat ketangkasan Lambung serta anak buahnya, seluruh rombongan pemburu itu semua terbunuh. Hanya seorang pemuda dibiarkan hidup.
Beberapa
tahun kemudian setelah kejadian berdarah itu, terdengar berita bahwa
orang-orang dari sungai Mahakam itu sebenarnya berasal dari desa Rangan
Pulang, akan pergi mengayau untuk membalas dendam ke Rangan Marau.
Terdengarnya berita mengenai rencana penyerangan orang-orang dari sungai
Mahakam terhadap penduduk desa Rangan Marau, maka Sempung segera
mengumpulkan seluruh warga desanya itu berembuk mengatur kesepakatan
menghadapinya. Dalam musyawarah tersebut bulat mufakat mereka itu, agar
pindah saja mencari tempat yang baik dan aman.
Saat itu dusun Rangan Marau terdiri dari 13 keluarga saja berjumlah 300 jiwa, diantaranya seorang kepala keluarga adalah wanita. Tapi yang jelas mereka semua adalah anak menantu Lambung, yang kini sudah tua dan sakit-sakitan. Sempung berpendapat, jika mereka tetap berada di sana tidak mustahil semuanya nanti akan lumat. Dalam perpindahan nanti mereka akan berpencar, setiap kepala keluarga merupakan pemimpin kelompoknya. Ini guna menghindari agar ras (suku bangsa) ini tidak seluruhnya musnah.
Perjalanan lewat air dengan menghiliri sungai Miri dimulai. Rakit dihanyutkan satu persatu dengan teratur. Kaum lelaki yang muda dan tangkas dari setiap kelompok keluarga yang berada pada masing-masing rakit bertugas menjaga arah larutnya rakit itu, agar tidak tertumbuk ke tepi sungai. Untuk menghilangkan rasa lelah, bergantian dari setiap rakit membunyikan tetabuhan tradisional berupa pemukulan gong, kenong dan gendang. Buat memberikan petunjuk agar mendapat tempat tinggal yang baik di sungai Kahayan nanti, Sempung mempergunakan seekor ayam jantan yang diperolehnya sewaktu ia merantau dahulu. Sebagian para penyabung ayam menamainya ayam kemudi besi sebab di ekornya terdapat sehelai bulunya yang sangat panjang dan berwarna hitam. Ayam milik Sempung itu semua bulunya berwarna putih dan dinamakannya Atung Sempung. Kokoknyalah nanti yang digunakan sebagai pertanda bagi satu kelompok keluarga untuk singgah dan menetap pada suatu tempat. Pekerjaan seperti ini di kalangan masyarakat suku Dayak Ot Danum disebut dengan meramal kepergian dan tempat kediaman.
Berikut adalah nama desa dan kepala keluarga yang menempati setiap lokasi yang mereka temukan dalam perjalanan halisang tersebut:
Tambahan:
Sempung selama perjalanannya menuju Rangan Marau, banyak berpindah tempat tinggal, dan memiliki istri berjumlah 7 orang, yaitu:
Saat itu dusun Rangan Marau terdiri dari 13 keluarga saja berjumlah 300 jiwa, diantaranya seorang kepala keluarga adalah wanita. Tapi yang jelas mereka semua adalah anak menantu Lambung, yang kini sudah tua dan sakit-sakitan. Sempung berpendapat, jika mereka tetap berada di sana tidak mustahil semuanya nanti akan lumat. Dalam perpindahan nanti mereka akan berpencar, setiap kepala keluarga merupakan pemimpin kelompoknya. Ini guna menghindari agar ras (suku bangsa) ini tidak seluruhnya musnah.
Perjalanan lewat air dengan menghiliri sungai Miri dimulai. Rakit dihanyutkan satu persatu dengan teratur. Kaum lelaki yang muda dan tangkas dari setiap kelompok keluarga yang berada pada masing-masing rakit bertugas menjaga arah larutnya rakit itu, agar tidak tertumbuk ke tepi sungai. Untuk menghilangkan rasa lelah, bergantian dari setiap rakit membunyikan tetabuhan tradisional berupa pemukulan gong, kenong dan gendang. Buat memberikan petunjuk agar mendapat tempat tinggal yang baik di sungai Kahayan nanti, Sempung mempergunakan seekor ayam jantan yang diperolehnya sewaktu ia merantau dahulu. Sebagian para penyabung ayam menamainya ayam kemudi besi sebab di ekornya terdapat sehelai bulunya yang sangat panjang dan berwarna hitam. Ayam milik Sempung itu semua bulunya berwarna putih dan dinamakannya Atung Sempung. Kokoknyalah nanti yang digunakan sebagai pertanda bagi satu kelompok keluarga untuk singgah dan menetap pada suatu tempat. Pekerjaan seperti ini di kalangan masyarakat suku Dayak Ot Danum disebut dengan meramal kepergian dan tempat kediaman.
Berikut adalah nama desa dan kepala keluarga yang menempati setiap lokasi yang mereka temukan dalam perjalanan halisang tersebut:
- Kajai, Desa Tumbang Miri
- Piak, Desa Liang Narui (Batu Tamarang Kandang)
- Atang, Desa Tumbang Habaun Rangan Bintang
- Isuh, Desa Batu Nyiwuh
- Etak, Desa Tewah
- Sempung, Desa Tumbang Pajangei
- Nyohungan, Desa Saran Rangan (Sare Rangan)
- Sarunukan, Desa Tumbang Manyangan
- Anju, Desa Robohu Tutung Pitu (Kuala Kurun)
- Rating, Desa Tampang Dirun Tingang (Tampang)
- Mina Biran, Desa Tarawan (Pahawan)
- Tumbung, Desa Tutuk Tangkahen Tintu Tutuk Rantau (Tangkahen)
- Rakou, Desa Tumbang Rungan
Tambahan:
Sempung selama perjalanannya menuju Rangan Marau, banyak berpindah tempat tinggal, dan memiliki istri berjumlah 7 orang, yaitu:
- Nyai Nunyang, tinggal di Pulau Kupang, daerah Kuala Kapuas (Pulau Petak), keturunannya menghasilkan datuk suku Dayak Ngaju (Biaju).
- Huburang Buei Bulau Suei, keturunannya menghasilkan datuk suku Dayak Tidong, Dayak Uhing, Dayak Saputan, Dayak Bahau.
- Nyai Icong, seorang bangsa Tionghoa.
- Randi Bawin Sintang Pontianak, keturunannya menghasilkan datuk suku Dayak Manukung, Dayak Malawei dan suku Dayak Kalimantan Barat.
- Bintang Bawin Sampit tanah Ambau, keturunannya menghasilkan datuk suku Dayak Tamuan, Dayak Mentaya.
- Nyai Sanuhung.
- Nyai Endas, keturunannya menghasilkan datuk suku Dayak Ot Danum, Dayak Murut, Dayak Tabuyan.(Tjilik Riwut, 1979: 393-394)
Komentar
Posting Komentar